MUHAMMAD BIN IDRIS ASY-SYAFI’I (150-204 H)
Al-Imam Abu Abdullah, Muhammad bin Idris al-Qurasyi al-Hasyimi al-Muththalibi ibnu Abbas bin Utsman bin Syafi’i (rahimahullah). Silsilah nasabnya bertemu dengan datuk Rasulullah saw. yaitu Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di Ghazzah Palestina pada tahun 150 H, yaitu pada tahun wafatnya Abu Hanifah. Dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Setelah kematian ayahnya pada masa dia berumur dua tahun, ibunya membawa Imam asy-Syafi’i ke Mekkah, yang merupakan kampung halaman asal keluarganya. Imam asy-Syafi’i diasuh dan dibesarkan dalam keadaan yatim. Dia telah menghafal Al-Qur’an semasa kecil. Dia pernah tinggal bersma kabilah Hudzail di al-Badiyah, satu kabilah yang terkenal dengan kefasihanya bahasa Arabnya. Imam asy-Syafi’i banyak mempelajari dan menghafal syair mereka. Imam asy-Syafi’i adalah tokoh bahasa dan satra Arab.
Al –Ashmu’i pernah berkata bahwa syair Hudzail telah diperbaiki oleh seorang pemuda Quraisy bernama Muhammad bin Idris. Ini jelas menunjukan bahwa dia adalah Imam dalam bidang bahasa arab dan memainkan peranan penting dalam perkembangannya. Imam Asy-Syafi’i belajar di Mekkah kepada muftinya, yaitu Muslim bin Khalid al-Zanji hingga Imam asy-Syafi’i mendapat izin untuk memberikan fatwa. Pada masa itu Imam asy-Syafi’i masih berumur 15 tahun. Dia menjadi murid Imam Malik bin Anas.
Dia belajar dan menghafal al-Muwwaththa’ hanya masa sembilan malam saja. Dia juga meriwayatkan hadits Sufyan bin Unaiyah, Fudhail bin Iyadh, dan pamannya, Muhammad bin Syafi’i serta lainlain. Imam asy-Syafi’i pergi ke Yaman, kemudian ke Baghdad tahun 182 H dan kedua kalinya pergi ke Bagdhad pada tahun 192 H, dia telah mempe- 7 lajari kitab Fuqaha Iraq dari Muhammad Ibul Hassan. Dia juga mengadakan perbincangan dan petukaran pendapat kepada Muhammad ibnul Hassan. Perbincangan ini sangat menggembirakan ar-Rasyid. Imam Ahmad bin Hambal bertemu dengan Imam asy-Syafi’I ketika di Mekkah pada tahun 187 H dan di Baghdad pada tahun 195 H. Dia belajar ilmu fiqih dan usul fiqih serta ilmu nasikh dan mansukh Al-Qur’an dari Imam asy-Syafi’i. Di Baghdad, Imam asy-Syafi’i mengarang kitabnya yang bernama Al-Hujjah yang mengandung madzhab yang qadim. Setelah itu, dia berpindah ke Mesir pada tahun 200 H. Dan di sana lahirlah madzhab jadidnya. Dia wafat di Mesir dalam keadaan syahid karena ilmu pada akhir bulan Rajab, hari Jum’at tahun 204 H. Dia dimakamkan di Al-Qarafah setelah Ashar pada hari yang sama. Semoga Allah SWT merahmatinya.
Di antara hasil karyanya ialah ar-Risaalah yang merupakan hasil pertama dalam menuliskan bidang ilmu usul fiqih dan kitab al-Umm di bidang fiqih berdasarkan mazhab Jadidnya. Imam asy-Syafi’I adalah seorang mujahid mutlak. Dia adalah imam di bidang hadits, fiqih dan ushul. Beliau berhasil menggabungkan ilmu fiqih ulama Hijaz dengan ulama Iraq. Imam Ahmad bekata, “ Imam asy-Syafi’i adalah orang yang paling alim berkenaan dengan kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.”
Dia juga pernah berkata “Siapa pun yang memegang tinta dan pena di tangannya, maka ia berhutang budi kepada asy-Syafi’i.” Tasy Kubra Zadah dalam kitabnya, Mifta as-Sa’adah berkata, “Ulama kalangan ahli fiqih, usul, hadits, bahasa, tata bahasa dan lain-lain telah sepakat tentang amanah, adil, zuhud, wara, takwa, pemurah, serta baiknya tingkah laku dan tinggi budi pekerti yang dimilki oleh Imam asy-Syafi’i. Meskipun banyak pujian yang diberikan, namun ia tetap tidak memadai.” Sumber madzhab Imam asy-Syafi’I adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian ijima dan qiyas. Beliau tidak mengambil pendapat sahabat sebagai sumber madzhabnya, karena ia merupakan ijtihad yang kemudian ada kemungkinan salah.
Dia juga tidak juga beramal istihsan yang diterima oleh golongan Hanafi dan Maliki. Dalam hal ini beliau berkata, “Siapa yang melakukan istihsan berarti membuat syariat.” Dia juga menolak masalih mursalah dan tidak setuju dijadikan ‘amal ahl al-Madinah (perbuatan penduduk Madinah) sebagai Hujjah. Ahli baghdhad telah menyifatkan Imam asy-Syafi’I sebagai Nashir Sunnah (penyokong As-Sunnah). Ulama yang meriwayatkan kitab lamanya, al-Hujjah, ialah empat orang muridnya dari kalangan penduduk Iraq, yaitu Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, az-Za’farrani, dan al-Karabisi. Adapun yang meriwayatkan madzhab baru Imam asy-Syafi’I dalam 8 al-Umm juga empat orang muridnya dari kalangan penduduk Mesir. Mereka al-Muzani, al-Buwaiti, ar-Rabi al-Jizi dan ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, dan lain-lain.
Fatwa yang terpakai dalam madzhab Syafi’i ialah qaul jadidnya dan bukan qaul qadimnya, karena Imam asy-Syafi’i telah menariknya kembali dan berkata, “Aku tidak membenarkan orang yang meriwayatkannya dariku.” Hanya dalam beberapa masalah saja, yaitu kurang dari 17 masalah yang boleh difatwakan berdasarkan qaul qadim. Jika memang qaul qadim itu didukung oleh hadist shahih, maka ialah madzhab Syafi’i. Diriwayatkan bahwa asy-Syafii berkata, “Jika sah suatu hadist, maka itulah madzhabku. Oleh karena itu kau tinggalkanlah pendapatku.”
0 Komentar